Mantan Direktur Utama PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) baru-baru ini dijatuhi hukuman penjara selama 4,5 tahun oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Ia juga dikenai denda sebesar Rp500 juta dan subsider tiga bulan kurungan, terkait kasus yang melibatkan Kerja Sama Usaha dan akuisisi PT Jembatan Nusantara selama periode 2019-2022.
Putusan ini terbilang lebih ringan dibandingkan tuntutan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum yang meminta hukuman 8 tahun penjara dan denda yang sama. Hal ini menandakan adanya perdebatan hukum yang dalam di balik kasus ini.
Dalam persidangan, adalah penting untuk memerhatikan peran hukum dan dampak ekonomis yang ditimbulkan dari kasus ini. Keputusan hakim tidak hanya berpengaruh pada para terdakwa, tetapi juga pada industri dan praktik bisnis di Indonesia.
Pertimbangan Hukuman Dan Dissenting Opinion Dalam Kasus Ini
Ketiga terdakwa, termasuk mantan direktur, dinyatakan bersalah oleh majelis hakim karena mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp1,25 triliun. Namun, bukan tanpa ada dissenting opinion dari salah satu hakim yang menyatakan bahwa tindakan tersebut tidak termasuk dalam kategori tindak pidana korupsi.
Sunoto, sang ketua majelis hakim, percaya bahwa semua keputusan yang diambil oleh para terdakwa adalah dalam kerangka bisnis yang sah. Ia berpendapat bahwa bukti-bukti yang diajukan tidak cukup kuat untuk menjatuhkan vonis terhadap mereka.
Menurut Sunoto, tindakan para terdakwa tidak menunjukkan adanya niat jahat, sehingga mereka seharusnya bebas dari segala tuntutan hukum. Hal ini menunjukkan kompleksitas dalam pengambilan keputusan bisnis yang sering kali berisiko tinggi.
Dampak Keputusan Hakim Terhadap Praktik Bisnis di BUMN
Keputusan hakim dalam kasus ini turut memunculkan kekhawatiran di kalangan direktur BUMN. Mereka merasa bahwa berbagai keputusan strategis kini dapat dipersepsikan sebagai tindakan kriminal jika hasilnya tidak memenuhi harapan.
Pernyataan Sunoto bahwa dampak dari keputusan bisnis harus mempertimbangkan Business Judgement Rule menjadi sangat penting di sini. Hal ini mengisyaratkan bahwa direktur perlu memiliki ruang gerak untuk mengambil keputusan tanpa takut akan konsekuensi hukum.
Sikap berhati-hati dalam mengambil keputusan bisnis kini menjadi lebih dominan, dengan sejumlah eksekutif mungkin berpikir dua kali untuk mengambil posisi penting di perusahaan-perusahaan milik negara. Hal ini berpotensi menghambat inovasi dan pengembangan di sektor publik.
Kemandirian Dalam Menjalani Bisnis Serta Implikasi Hukum yang Dihadapi
Majelis hakim memperhatikan bahwa terdakwa tidak mengambil keuntungan pribadi dari keputusan yang diambil. Hal ini menjadi salah satu pertimbangan yang meringankan hukuman mereka dibandingkan tuntutan dari jaksa.
Hakim juga menekankan bahwa meskipun mereka tidak mendapatkan keuntungan, tindakan para terdakwa tetap dianggap memberikan keuntungan yang signifikan bagi pihak lain, yaitu pemilik PT Jembatan Nusantara.
Ini bisa menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana hukum dapat ditegakkan dengan adil ketika keuntungan finansial tidak selalu menjadi tujuan utama, tetapi dampak sosial dan ekonomi yang lebih luas juga harus dipertimbangkan.
