Seorang mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta bernama Perdana Arie ditangkap oleh Polres Daerah Istimewa Yogyakarta dengan dugaan keterlibatan dalam aksi unjuk rasa yang berlangsung pada akhir Agustus 2025. Penangkapan ini telah memicu reaksi keras dari berbagai kalangan, termasuk organisasi mahasiswa yang menyuarakan keprihatinan atas perlakuan aparat terhadap aktivis.
Aksi penangkapan berlangsung dramatis ketika belasan hingga puluhan anggota kepolisian mendatangi kediaman Perdana Arie, membawa serta alasan yang dianggap tidak sah. Dalam rilis pers yang diterima oleh media, Aliansi Jogja Memanggil mengungkapkan bahwa tidak ada surat resmi yang menyertai penangkapan tersebut, dan menganggap tindakan itu sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
“Polda DIY mengabaikan prosedur hukum yang seharusnya dijalankan, termasuk tidak memberikan panggilan resmi kepada Perdana Arie sebelum melakukan penangkapan,” jelas rilis tersebut. Banyak yang beranggapan bahwa tindakan ini merupakan bentuk represif terhadap mahasiswa yang hanya menyuarakan pendapatnya.
Menelusuri Kasus Penangkapan Mahasiswa di Yogyakarta
Penangkapan perdana Arie menandai dimulainya rangkaian kontroversi terkait penegakan hukum dalam konteks demonstrasi di Indonesia. Dengan statusnya yang dengan cepat berubah dari saksi menjadi tersangka, situasi ini menimbulkan banyak pertanyaan mengenai integritas proses hukum. Aliansi Jogja Memanggil mencatat bahwa tindakan ini bukanlah yang pertama kali terjadi di Yogyakarta, di mana polisi sering kali bertindak tegas terhadap pengunjuk rasa.
Masyarakat sipil semakin meragukan komitmen kepolisian dalam melindungi hak-hak aktivis dan mahasiswa. Ketidakpastian mengenai proses hukum yang adil dan transparan bisa menimbulkan ketidakpercayaan yang lebih besar terhadap institusi negara. Tekanan psikologis yang dialami oleh Perdana Arie, termasuk ancaman kekerasan selama penangkapan, semakin memicu kemarahan publik.
Rasa ketidakadilan ini diperparah dengan berita bahwa Perdana Arie mengalami tekanan untuk menyetujui pendamping hukum yang ditunjuk oleh pihak kepolisian. Ini menunjukkan adanya pemaksaan dan ketidakpuasan dalam proses hukum yang semestinya memberikan hak kepada tersangka untuk memilih pendamping hukumnya sendiri.
Dampak Penangkapan terhadap Masyarakat dan Aktivis
Tindakan penangkapan ini bukan hanya berdampak pada individu yang ditangkap, tapi juga menciptakan efek domino yang menurunkan semangat masyarakat untuk menyuarakan pendapat. Mahasiswa dan aktivis lain menjadi ragu untuk menyuarakan pendapat, mengingat tekanan dan risiko yang dapat mereka hadapi. Hal ini turut mengancam keberlangsungan demokrasi di Indonesia.
Aliansi Jogja Memanggil menyuarakan kebangkitan masyarakat sipil untuk melawan penindasan yang terus menerus terjadi. Mereka menekankan kebutuhan untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia dan mengutuk kekerasan yang dilakukan aparat selama aksi unjuk rasa. Penyampaian aspirasi masyarakat seharusnya dilakukan dalam suasana yang aman dan terjamin.
Sementara itu, analisis tentang tindakan polisi ini menunjukkan bahwa keberadaan hukum seringkali diabaikan demi kepentingan politik tertentu. Sejumlah tokoh publik pun mulai bersuara, menyerukan agar kepolisian melakukan evaluasi terhadap kebijakan dan pendekatan mereka dalam menangani demonstrasi.
Menjawab Kritik dan Tuntutan dari Masyarakat
Aliansi Jogja Memanggil menegaskan bahwa mereka tidak akan diam menyaksikan penangkapan sewenang-wenang yang terjadi. Dalam pernyataan tegas, mereka menyampaikan sembilan poin tuntutan kepada pihak kepolisian, mulai dari pemintaan untuk menghentikan penangkapan aktivis hingga mendesak transparansi dalam proses hukum. Masyarakat berharap agar institusi kepolisian tidak lagi mengabaikan hak-hak asasi manusia.
Poin-poin yang disampaikan ini juga menjadi momen refleksi bagi kepolisian untuk meninjau kembali prosedur operasional yang sering kali dianggap abusif terhadap warga sipil. Semua pihak diharapkan dapat bersatu untuk menciptakan lingkungan dalam tubuh kepolisian yang lebih humanis, tanpa kekerasan.
Reformasi di kepolisian menjadi krusial untuk memperlihatkan komitmen pemerintah dalam menjaga kepercayaan publik. Penegakan hukum harus dilakukan secara adil dan tidak diskriminatif, dengan mengedepankan dialog daripada tindakan represif terhadap mereka yang berbeda pendapat.